INDONESIA - 20 tahun usia saya saat ini, yang artinya sudah lumayan lama pula bertempat tinggal di Indonesia, terkhusus Ibu Kota Jakarta. Sesuai dengan semboyan nenek moyang, Bhinneka Tunggal Ika; berbeda-beda namun satu jua, sudah saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Rukun tetangga, rukun warga, bahkan di tempat saya menempuh pendidikan atau kerja sambilan pun, saya menemukan ragam keunikan dan perbedaan. Ragam suku dan budaya serta agama-keyakinan pun bukan menjadi penghalang bagi saya untuk tetap menjalankan hidup.
Namun ada satu dan lain hal yang mengganjal hati saya hingga saat ini. Apakah Bhinneka Tunggal Ika benar-benar ada? Apakah Tuhan itu benar adil terhadap kondisi umat-Nya? Pertanyaan tersebut didasarkan akan adanya kecaman dan kekejaman dari beberapa pihak.
Penolakan pembangunan rumah ibadat, pelarangan ibadah, bahkan kasus penghinaan pun seakan menjadi agenda rutin yang selalu diperdebatkan. Pembahasan mayoritas-minoritas tak akan ada habisnya. Bahkan di ibu kota yang saya anggap sudah modern dan maju saja pun, masih ada perselisihan. Tak jarang demo besar-besaran tiap tahun hanya karena meminta keadilan, seolah-olah sudah paling tertindas dan tak didengar pemerintah.
Hal yang paling menohok yakni bagaimana sulitnya kaum-kaum minoritas dalam mendapat keadilan dalam menjalani kehidupannya. Bisa makan-minum-bekerja-tidur tanpa cibiran orang-orang sekitar pun sudah bersyukur. Jika sampai dilarang beribadah bahkan membangun tempat ibadah secara layak padahal itu kebutuhan rohani, apakah masih disebut manusia beradab?
Sudah menjadi template jika orang-orang membela dirinya dengan berkata, "Itu hanya orang-orang fanatik saja kok! Kami mah diajarkan berbuat baik oleh keyakinan kami!" Pertanyaan saya pun menjadi bertambah, apakah mungkin 50% orang tersebut tidak waras dan tidak berakal sehat? Sehingga bisa jadi mereka berani melakukan tindakan di luar akal nurani sebagai makhluk beradab.
Jika saya memberi perumpamaan, kejadian ini bagai perudungan senior ke junior, penindasan akibat sedikit perbedaan. Tindakan tersebut sudah menjelaskan poin pertanyaan saya di awal; apakah Bhinneka Tunggal Ika benar-benar ada? Apakah saya masih bisa merasakan hidup rukun?
Hingga saya hidup 20 tahun di Bumi Pertiwi ini, saya bersyukur bahwa diberi mata dan hati untuk merasakan kebaikan. Setiap harinya saya selalu berdoa dan melakukan tindak baik walaupun kecil nilainya. Saya bersyukur pula karena masih dapat merasakan cinta kasih orang-orang yang masih memiliki akal sehat. Bahkan pihak pemerintah pun semakin hari juga semakin tegas dan adil dalam menindaklanjuti kejadian anarkisme yang terjadi.
Harapan saya, semoga Bhinneka Tunggal Ika bukan saja semboyan belaka, namun juga benar-benar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga berharap dengan adanya cinta yang tertanam, rasa egois dan dendam pada diri tiap-tiap dapat meluruh. Kelak egoisme dan dendam berganti menjadi rasa kebaikan, ketulusan, dan cinta kasih yang turun-temurun ke anak-cucu kita kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar